Dalam
periklanan terdapat Etika Umum yang harus diikuti yaitu:
·
Jujur:
tidak memuat konten yang tidak sesuai dengan kondisi produk
·
Tidak
memicu konflik SARA
·
Tidak
mengandung pornografi
·
Tidak
bertentangan dengan norma-norma yang berlaku.
·
Tidak
melanggar etika bisnis, contoh: saling menjatuhkan produk tertentu dan
sebagainya.
·
Tidak
plagiat.
Akan
tetapi dalam kenyataannya sering kita temui Iklan yang dibuat oleh para pelaku
usaha tidak sesuai dengan kondisi sebenarnya dan tidak sesuai dengan etika
periklanan yang telah ditetapkan. Hal ini dilakukan agar konsumen memakai atau
membeli produknya dan mendapatkan keuntungan dari hal tersebut. Hal ini bukan
saja hanya menimbulkan kerugian materil maupun non materil bagi konsumen,seperti kekecewaan akan produk tersebut dan yang lainnya, akan
tetapi juga menimbulkan kerugian bagi pelaku usaha lainnya. Karena bisa jadi konsumen
akan kehilangan kepercayaannya kepada pelaku usaha yang lain yang memiliki
usaha di bidang yang sama.
Adapun contoh iklan yang tidak sesuai dengan
pernyataannya yaitu iklan XL Bebas
Di iklan tersebut XL menyatakan bahwa konsumen dapat
menikmati telpon dengan tarif termurah yaitu RP 0,1 / detik ke semua operator
se- Indonesia. Namun pada kenyataannya hal tersebut tidak sesuai dengan
faktanya yang mana hal tersebut dapat terjadi dengan beberapa syarat-syarat
tertentu.
Hal tersebut dapat diketahui setelah pengecekan di web site xl tersebut yaitu di http://www.xl.co.id
Pada halaman awal, tidak ada petunjuk apapun, malah slogan
yang sama masih tetap muncul pada bagian kiri bawah. Capture gambar situs tersebut dapat dilihat disini
Nah, setelah mengklik gambar tersebut, akhirnya terlihat
jelas aturan-aturan yang sebenarnya berlaku untuk tarif promo itu, yang mana
jauh dari “kesan” murah.
Dari link di atas terlihat bahwa sebenarnya tarif
0,1 rupiah per-detik itu baru berlaku setelah berbicara selama 2 menit, dan
berlaku setiap kelipatan 2 menit berikutnya.
Jadi, misalnya anda berbicara 6 menit, maka dari seharusnya
hanya “berpikir” membayar Rp. 180 rupiah {(6 x 60) x 0,1)} malah anda akan
membayar {(2 x 60 x 25)+(2 x 60 x 0,1)+(2 x 60 x 25)} = 3000+12+3000 = 6012
rupiah
Dan yang tidak bagusnya lagi, hal ini tidak disebutkan di
iklan-iklan tersebut, malah baru diketahui di web itu sendiri, itu pun penjelasannya
baru diperoleh setelah 2 kali klik.
Iklan yang ukurannya besar, justru ada pada halaman
berikutnya.
Dalam gambar terssebut barulah terlihat syarat-sayarat yang
ditetukan, itupun dengan font yang kecil.
Jadi, kesimpulannya, anda baru bisa menikmati “tarif” 0,1
rupiah per-detik setelah anda “merogoh” uang anda sebanyak Rp. 3.000 untuk 2 menit
pertama. Malah, anda hanya “menikmati” tarif 0,1 rupiah tersebut selama 2 menit
dan selanjutnya kembali ke tarif Rp. 25 per-detik.
Dan
menurut saya hal tersebut tentu saja melanggar etika periklanan yang telah
ditetapkan yaitu tidak jujur atau memberikan pernyataan yang tidak sesuai
dengan kondisi yang sebenarnya, dan hal tersebut pasti merugikan banyak pihak
terutama konsumen pemakai tersebut yag pasti akan merasa sangat kecewa dan
merasa dibodohi atas pernyataan iklan tersebut. Dan diharapkan bagi pihak
produsen agar lebih dapat memperhatikan etika periklanan tersebut agar tidak
lagi menciptakan iklan-iklan atau promosi yang dapat memberikan kesalahpahaman dan
kekecewaaan bagi para konsumennya.
Adapun
peran pemerintah dalam menangani pelanggaran tersebut maka pada tahun 1999
Presiden bersama dengan Dewan Perwakilan Rakyat membentuk Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Dengan dibuatnya undang-undang ini
diharapkan dapat melindungi hak-hak konsumen dari segala bentuk penyalahgunaan
iklan oleh para pelaku usaha. Hal ini tentunya mendapatkan respon yang positif
dari masyarakat, karena apabila ada kecurangan yang dilakukan oleh pelaku usaha
akan ditindak sesuai dengan Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 ini.
Selain
itu dari pihak YLKI dalam Bidang pengaduan YLKI juga menampung keluhan konsumen
yang kecewa terhadap produsen barang atau penyelenggara jasa tertentu. YLKI juga
memberikan bantuan untuk membawa perkara terkait ke pengadilan, bila proses
mediasi atau rekonsiliasi menemui jalan buntu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar